Jika berbicara tentang pers,
maka tidak jauh dari kode etik jurnalistik. Pada tanggal 15 Oktober 2015, kelas
Kapita Selekta dihadiri oleh dosen tamu bapak Jimmy Silalahi yang merupakan
anggota Dewan Pers RI. Dewan Pers bertugas untuk
melakukan pemantauan, pengawasan termasuk diantaranya mengadili seluruh
sengketa pers di seluruh Indonesia. Berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia yang tugasnya hanya untuk
mengawasi program hiburan untuk radio dan televisi. Dewan Pers memantau semua
media cetak, media online, media elektronik, radio dan televisi setiap harinya di 34 provinsi dan
lebih dari 500 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Pada hari itu, beliau memfokuskan pembahasan mengenai perspektif liputan berita
tentang korupsi oleh media. Bapak Jimmy akan mengupas lebih dalam mengenai kode
etik jurnalistik yang seharusnya diterapkan oleh para jurnalis.
Di beberapa negara, korupsi merupakan
kejahatan extraordinary,
statusnya adalah penjahat luar biasa itu setara dengan kejahatan human
trafficking dan narkoba. Upahnya seharusnya mati, sejumlah negara menerapkan
prinsip keadilan dan keadilan untuk extraordinary crime adalah hukuman mati, sayangnya di negara
kita tidak seperti itu. Sebagai generasi
penerus bangsa, ada baiknya kita dapat berkontribusi
dalam menyempurnakan sistem hukum Indonesia.
Pada liputan seorang
wartawan, biasanya kita akan berhadapan dengan 4 hal ini:
1. Dilema
kecepatan penyampaian berita vs kedalaman berita
Contoh kasus helikopter
jatuh : Reporter TV One dengan bangga
mengatakan, “Pemirsa, sebelum kami
melanjutkan berikut kami akan menayangkan gambar eksklusif dari helikopter dan
penumpang sebelum mereka berangkat.” Pada waktu itu TV One menunjukkan gambar
yang katanya eksklusif, arti eksklusif berarti satu-satunya, belum ada yang tahu. Dan gambar yang
ditampilkan merupakan
foto dari salah
satu akun media sosial calon
penumpang helikopter.
Apakah TV One benar menyampaikan
gambar eksklusif? Itu pembohongan untuk sesuatu yang naas saja masih tega TV One menyampaikan
kebohongan. Yang dilakukan adalah
kecepatan untuk menyiarkan berita tapi akhirnya berbohong. Kecepatan
berita jangan sampai menghancurkan isi berita.
2. Kelugasan penulisan vs asas praduga tak bersalah
Indonesia merupakan
negara hukum yang menganut asas praduga tak bersalah. Situasi
media, kalimat kata-kata harus lugas, namun terkadang menenggelamkan asas
praduga tak bersalah. Menghakimi merupakan salah satu kebiasaan media yang buruk.
3. Ruang
privat vs ruang publik
Apapun yang terjadi
walaupun koruptor, tetapi rumah tetap ruang privat. Tidak boleh sembarangan diakses karena bisa dikenakan sanksi.
4. Belum membaca/paham kode etik jurnalistik
Empat poin diatas
paling sering dijumpai pada jurnalis saat ini. Analisa
persoalan dari sejumlah pemberitaan korupsi adalah:
·
Tidak berimbang
Tidak akurat,
tidak melakukan verifikasi.
·
Opini menghakimi
Contoh berita :
Penanganan Dugaan
Korupsi APBN Langkat Rp23,7 M Senyap, ‘KPK Harus Periksa Ngogesa Sitepu’
Cuplik
tidak ada potongan, kata Harus dinilai
berlebihan. Media seakan-akan mengharuskan
KPK untuk memeriksa. Padahal prinsip media hanya
boleh memberitakan fakta apa adanya,
tidak boleh mendahului.
“Dugaan Korupsi Rp32,7
M Sudah Dilaporkan ke KPK, ‘Awas, Ngogesa Bisa Bernasib Sama dengan Samsul
Arifin”
Kesalahan
angka pada cuplikan berita diatas menunjukan ketidaktelitian dan konyol. Dalam ruang news room itu banyak layer atau tingkatan yang harus dilalui
sebelum berita dinaikkan, bagaimana berita tersebut dapat lolos. Ini bukan bahasa media. Ini kasus yang ditangani
dewan pers beberapa waktu lalu. Dan pemimpin media yang bersangkutan memutuskan
memecat wartawan, redaktur, dan editor yang menangani berita tersebut. Berita
itu dapat menaikkan
dan menurunkan image
dan sangat provokatif.
Padahal Ngosesa masih lama diperiksa dan belum
ditetapkan sebagai tersangka.
·
Mencampurkan fakta dan
opini
Contoh berita : “Diduga Terima Suap Rp.
30 Juta.” ; “Jeruji Besi Menanti Kedatangan Walikota Sibolga Syarfi Hutauruk”,
“Copot Kajari dan Kapolres Sibolga”. Kata ‘copot’ media seperti memerintah,
sangat tidak satun. Media silahkan untuk kritis tapi tetap dalam koridor
kesantunan di dalam
mencantumkan kata-kata.
·
Bahasa yang bombastis (kurang memperhatikan
dan memperhitungkan dampak pemberitaan)
Contoh berita : “Prett..Kibul Nomor Wahid”;
“Kadistamben Kab Oku M Nasir Yazid Diduga Gorok Dana Milyaran Rupiah (www.radarnusantara.com). Kata ‘pret’ dan ‘gorok’
tidak perlu dicantumkan karena
sangat tidak berkualitas.
·
Konflik kepentingan.
Keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip dalam berita. Itu yang terjadi di
beberapa media elektronik, diantaranya televisi-televisi
yang berafiliasi ke partai politik.
Foto diatas merupakan foto korban pencabulan Gubernur Riau, Annas Maamun. Di dalam foto tersebut korban terlihat menangis, karena setiap hari ia dikejar-kejar oleh wartawan. Padahal ia seharusnya dilindungi atau paling tidak diblur. Dia harus terkena dampak psikologis, dia hanya meminta agar tidak dikejar terus- menerus.
Contoh
kasus:
Pemberitaan Kasus Korupsi Gubernur Sumut
Kasus ini menjadi permasalahan setelah
media mengangkat foto diatas. Disandingkan foto tersebut, anak-anak dari istri
pertama Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho tersebut sampai tidak berani keluar
rumah, hantaman psikologisnya sangat kuat. Setiap hari media memberitakan,
sangat mempermalukan keluarga istri pertama. Bahkan istri pertamanya terpaksa
mengundang media, meminta agar media berhenti memberitakan keluarganya, beliau
menyampaikan bahwa yang melakukan korupsi adalah suaminya tetapi bukan dirinya
dan anak-anaknya.
Ketidakcerdasan news room sering terlihat dalam kasus
seperti ini, mereka tidak memikirkan dampak psikologis keluarga dari oknum yang
jahat. Jangan
melebih-lebihkan ketika mencantumkan sesuatu kalimat, kata-kata ataupun foto.
Kasus Gubernur Riau dan Potensi Sengketa Pers
Foto diatas merupakan foto korban pencabulan Gubernur Riau, Annas Maamun. Di dalam foto tersebut korban terlihat menangis, karena setiap hari ia dikejar-kejar oleh wartawan. Padahal ia seharusnya dilindungi atau paling tidak diblur. Dia harus terkena dampak psikologis, dia hanya meminta agar tidak dikejar terus- menerus.
Kasus S.B dan Potensi Sengketa Pers
Ribuan pegawai SPBU Pertamina marah
dengan munculnya cover pemberitaan
Sutan Bhatoegana menggunakan pakaian demikian. Petugas SPBU tidak salah
apa-apa, namun harus digambarkan seperti Sutan Bhatoegana.
Kasus lainnya:
Sekitar 1 minggu tingkat hunian di Hotel
Aston menurun, karena pemberitaan adanya negosiasi oknum-oknum diantaranya
Mandra yang berkumpul untuk berbincang-bincang di Hotel Aston. Metro TV memunculkan Hotel
Aston, harusnya manager salah satu hotel di Jakarta, atau disamarkan.
Tidak pernah ada berita
yang berani menulis seperti ini, bahkan bukan hanya di Indonesia tetapi di
seluruh dunia. Hanya dilakukan oleh satu media Rakyat Merdeka. Dan kasus ini
langsung dilaporkan oleh dari KPK, dan staff Pemerintah. Kalimat yang dipilih sangat
kontroversial dengan tujuan mungkin agar oplahnya tinggi, namun hal yang
dilakukan salah.
Karena
yang korupsi kebanyakan oknum-oknum pejabat, jadi kita memang dihimbau untuk
lebih cermat. Di dalam pasal 17 UU Pers,
ada disebutkan peran serta masyarakat, peran serta kita semua untuk mengawal
pemberitaan pers. Jadi kita berhak mengawal, mengevaluasi dan melakukan analisa
terhadap semua pemberitaan pers.
Tahun 2015, akan
dilaksanakan 269 Pilkada serentak di seluruh penjuru tanah air, pers harus
hati-hati dan mempersiapkan kualitas pengawasan dan penyampaian beritanya
terkait hal tersebut. Oleh karena itu kita harus sangat berhati-hati dalam
memilih, agar ke depannya
bukan koruptor yang menjadi wakil masyarakat.
Sebagai gambaran, contoh berita yang memiliki nilai
edukasi seperti
Menariknya,
media menganalisa apa yang di korupsi budaya korupsi dan dikaitkan dengan
budaya. Jadi tidak hanya berita korupsi, tetapi analisa apa saja konten, dampak
dan lainnya.
Contoh lainnya, judul diatas merupakan
contoh berita yang mengandung unsur edukasi kampanye anti korupsi. Jadi publik
yang membaca atau melihat berita korupsi diedukasi korupsi itu seperti apa dan
dampaknya, jenis-jenisnya, modus-modusnya seperti apa. Akhirnya yang membaca
tidak hanya marah terhadap koruptor tetapi juga mendapat nilai yang bisa
didapatkan. Seperti yang disampaikan pada awal pertemuan persepsi kita harus
sama bahwa korupsi itu menggerus kita semua.