Apa
yang terpikirkan oleh Anda ketika mendengar kata “konvergensi media”? Digital
media? Internet? Media baru? Ataukah teknologi? Tidak salah jika hal-hal itu
yang terlintas dalam benak Anda. Semua istilah tersebut memang memiliki
keterkaitan yang kuat dengan konvergensi media, dimana merupakan suatu keadaan
yang sedang kita hadapi sebagai masyarakat di era global. Perkembangan media di
Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dunia cetak perlahan-lahan mulai beralih
ke dunia digital. Masa peralihan ini merupakan fenomena konvergensi media,
yaitu penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan
dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. Penggabungan beberapa medium yang didukung
dengan adanya internet, itulah yang memunculkan media online.
Pada
tanggal 3 September 2015, reporter MNC Bapak Asep Saefulloh berbagi cerita
seputar pengalamannya di media. Menurutnya, bagi para jurnalis tua,
perkembangan teknologi konvergensi ini menjadi sebuah tuntutan agar mereka
perlu memperlajari untuk mengikuti perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Berbeda dengan generasi muda yang memang sudah terlahir di era yang maju ini. Ketika
konvergensi itu berkembang, teknologi pun berkembang sehingga segala sesuatu
hal dapat dilakukan sendiri. Contohnya, jurnalis di era media konvensional saat
bertugas biasanya menerjunkan 1 tim yang berjumlah 15 orang (terdiri dari
reporter, writer, camera person yang mengambil gambar, tim SNG yang menangani
urusan teknis, dan lain-lain). Tapi jurnalis sekarang harus bisa melakukan
segalanya sendiri, mulai dari membawa kamera, tablet, audio, memasang tripod,
wawancara, melaporkan berita, hingga mengedit video sendiri.
Perkembangan
teknologi menyebabkan tantangan semakin besar. Pertama, para jurnalis harus
semakin bisa menguasai semua alat, tools, dan software. Kedua, tantangan lainnya
adalah feedback dari pembaca atau pemirsa semakin cepat, dalam arti lain
pembaca semakin interaktif dalam memberikan komentar/tanggapan terhadap
pemberitaan yang dipublikasikan melalui media online dan media sosial. Ini
menjadi tantangan bagi media untuk membuat kualitas berita yang lebih bagus.
Ketiga, media harus melakukan transformasi ke media digital, karena media
konvensional sudah semakin ditinggalkan. Tidak hanya itu, media juga
mengandalkan aplikasi di smartphone. Contohnya : Republika dan Tempo
memindahkan koran cetak ke internet, tapi fase berikutnya muncullah bentuk
mobile. Tapi ada kekurangannya, teks berita akan dipotong menjadi lebih singkat
agar mudah dibaca melalui smartphone, sehingga informasi yang disajikan tidak
selengkap yang ada di koran.
Pada
masa pemerintahan Soeharto, media sangat dikontrol. Menteri Penerangan Harmoko
saat itu membuat peraturan yang sangat ketat untuk media sehingga konten media
isinya sama. Yang membedakan hanya format dan variasi penulisan berita. Setelah
reformasi tahun 1998 bergulir, Gusdur menggantikan jabatan Soeharto sebagai
presiden RI membubarkan departemen penerangan, sehingga pers menjadi bebas,
kemudian muncul UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketika pers bebas, apa yang
terjadi? Sejak itu, industri media mulai berkembang. Jumlah yang sebelumnya
sangat sedikit, kini media cetak dan media elektronik semakin merajalela. Bahkan
celakanya, sekarang muncul media-media baru yang menyebabkan oligopoli, yang
artinya perusahaan-perusahaan besar dikuasai oleh politisi atau orang yang
mempunyai kepentingan politik. Keuntungan sepihak bagi para pemilik media
adalah mereka dapat meredam isu negatif tentang dirinya melalui media yang
dimilikinya, dan hanya mempublikasi berita-berita positif guna meningkatkan
citra tokoh politik tersebut di mata publik. Kepemilikan media menyebabkan industri media menjadi tidak independen.
- Surya Paloh : Metro TV, Media Indonesia, Lampung post, metrotvnews.com
- Aburizal Bakrie : TV One, Viva News
- Hary Tanoesoedibjo : RCTI, MNC TV, Global TV
Tidak
hanya media cetak dan elektronik, bahkan media sosial mulai merambah ke
kehidupan sosial masyarakat. Pada sekitar tahun 1994, muncul Friendster sebagai
awal aplikasi media sosial yang digunakan. Kemudian seiring berjalannya waktu,
masyarakat Indonesia saat ini seakan terhipnotis oleh adanya Facebook, Twitter,
Path, Instagram, Periscope, dan sebagainya. Penggunaan media sosial kian
meningkat di kalangan generasi muda. Media sosial juga mempengaruhi dunia
jurnalistik. Untuk memberikan ruang yang lebih luas, beberapa media menerapkan citizen
journalism, yaitu kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat
dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan
berita. Tipe jurnalisme seperti ini akan menjadi paradigma dan tren baru
tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita. Contohnya
: Metro TV membuka newsroom melalui
Twitter dan Facebook Metro TV agar masyarakat bisa mengomentari dan memberikan
masukan berita seperti apa yang ingin diangkat.
Sebenarnya
ketika teknologi berkembang pesat, jurnalisme sangat diuntungkan. Dengan adanya
kemajuan teknologi yang menggantikan peran manusia, tenaga kerja yang dipakai
semakin sedikit, tapi produk dapat dihasilkan dengan cepat. Selain itu, media
menjadi multi-platform sehingga orang bisa menjual e-paper, e-book, e-magazine
dan bisa memasang iklan secara online tanpa batas.
Dengan
adanya teknologi konvergensi, media juga semakin spesifik, misalnya terbit
majalah khusus teknologi, gaya hidup, otomotif, bisnis, properti, wisata, energi,
hukum, dan kesehatan. Pengusaha mencari isu yang paling spesifik agar dapat
kontennya lebih terfokus, cara jual menjadi lebih mudah sesuai dengan target
sasaran. Contohnya : Tabloid Nova untuk pembaca wanita.
Kesimpulannya,
untuk mengimbangi terjadinya konvergensi media ini, maka para jurnalis harus
memiliki akun media sosial atau blog agar bisa mengikuti perkembangan arus
informasi yang begitu cepat. Media lama juga harus mulai berinovasi ke dalam
bentuk media baru agar tidak hilang dari peredaran.
0 comments:
Post a Comment